Menyegarkan Kembali Pradigma
Berpikir Tentang Perempuan
(Upaya Meluruskan
Tafsir Mirimg)
Oleh: Asep Irama
Isu emansipasi dan legalisasi perempuan
dalam kancah kehidupan sosial ahir-ahir ini semakin mencuat. Pelbagai gerakan
emansipatoris sebagai kesadaran kritis permpuan, hampir tak dapat dibendung. Sepertinya, ada
stimulasi yang cukup ekstrim bagi kalangan perempuan untuk merekonstruksi missunderstanding terkait dengan
diskriminasi dan kesetaraan gender;
kultur seputar hierarki dan patriarki antara pihak male dan female.
Ragam persoalan kompleks di atas, tentu,
merupakan keterkejutan budaya (shock of
culture, teori Alvin tovler),
sambil secara pelan ‘menyulat’ reputasi kaum feminin. Sebab, konon, laki-laki nge-tren dengan popularitas sebagai
‘penjajah dingin’ dan koloni yang_dengan pelan tapi pasti_ mengerdilkan_mengeksploitasi
entitas perempuan dalam kancah kehidupan domestik, (atau) bahkan publik. Dalam
pemahaman yang lebih jauh, perempuan dikesan sebagai obyek dari prinsip
diskriminasi gender. Sehingga, mereka
cenderung diposisikan sedemikian rendah_subordinatif . meski, hal kebenarannya
dirasa absurd, dan masih dalam tahap analisis; memerlukan sumber pendukung
sebagai data kecanggihan analisa.
Interpretasi Riil; Perempuan dan Gender
Pengaruh culture
yang cenderung bersifat patrilinear, juga kenyataan pada tingkat ’harga’
perbandingan proporsional antara laki-laki dan permpuan, sampai saat ini masih
menyisakan ‘mitologi miring’. Tak elak, kedudukan perempuan yang menjadi
‘budak’ laki-laki, hanya direka dari tafsir teologi praktis sebagai referensi
dominan. Sehingga, secara tidak langsung, kiprah perempuan sebagai ‘individu
otonom’ termarjinalkan sebegitu komplit.
Realitas pelik dan memilukan di atas,
berhasil menampilkan tubuh perempuan sebagai obyek skunder laki-laki. Ini
telihat dari galaknya industri kapitalis yang barang mungkin mengolah perempuan
menjadi obyek menarik bagi industri produk dan periklanan. Bentuk ‘ideal’
perempuan dalam musim periklanan, memang menjadi simultan ‘laku’ penjualan. Misal
konkrit, parade tubuh langsing, berkulit putih dan mulus, rambut lurus memikat,
seperti juga wajah, dada, pinggul, dan hal eksotis lainnya. Dari ini, entitas
perempuan tampak ”dijual-dagangkan”. Terbukti, perempuan tidak mampu
mengendalikan diri, melainkan dikendalikan oleh kepntingan pasar.
Mitologi Miring; Ukuran
Potensial
Dari berbagai catatan, Prof. Nasiruddin Umar
dalam bukunya: Teologi Perempuan; Antara Mitos dan Kitab Suci. Ternyata, ada
dua term yang mempengaruhi entitas perempuan dalam kancah publik. Pertama, pendekatan teologis. Di sini,
tampak jauh dari prinsip keadilan gender.
Setidaknya, penulis me-reka, hal ini bersumber dari kata qawwamuna (surat An-Nisa’) yang hanya ditafsir sebelah mata.
Sehingga, tafsir historis, sosiologis, dan antropologis sama sekali tidak
dikupas. Semestinya, qawwamuna di
sini diletakkan dalam konteks hubungan domestik keluarga, bukan ranah publik.
Kedua,pendekatan mitologis. Pada kerangka ini,
hakikat perempuan tidak lebih sekedar komoditas sosial. Sinyalir terahir ini
yang muncul, seolah menjadi ‘jalan terjal berbatu’ bagi keberadaan perempuan
dalam kancah publik. Terbukti, selain perempuan sebagai bahan pemuas laki-laki,
banyak asumsi miring seputar
realitas perempuan. Tulis saja, dikotomi peran perempuan; setinggi apapun
pendidikan yang ia raih, tidak akan pernah lepas dari “dapur dan kasur”.
Memang, sepintas memahami redaksi ini, perempuan tidak mempunyai ruang gerak
bebas (right to decide) untuk
menentukan obsesi sebagai manusia otonom.
Keluar dari konteks ini, perempuan dituntut
‘oposisi’ terhadap prespektif nyeleneh di atas. Mitologi dan teologi
yang dikoarkan tidak selamanya benar. Semestinya, perempuan mampu menumbuhkan
antusiasme untuk me-linier-kan pemahaman seputar kekuasaan wilayah, dominasi,
dan streotyping mereka. Sebagai motivasi taktis, penulis mencoba me re-copy
argumen kritis Leoner Ketzer Sulvian (politikus perempuan), “What Man Can Do, Women Can Do Better”
Penulis adalah
penggerak KOMNAS sekaligus kepala perpustakaan SMA Annuqaya

Tidak ada komentar:
Posting Komentar