Jumat, 22 Februari 2013



Menyegarkan Kembali Pradigma Berpikir Tentang Perempuan
(Upaya Meluruskan Tafsir Mirimg)
Oleh: Asep Irama

Isu emansipasi dan legalisasi perempuan dalam kancah kehidupan sosial ahir-ahir ini semakin mencuat. Pelbagai gerakan emansipatoris sebagai kesadaran kritis permpuan,  hampir tak dapat dibendung. Sepertinya, ada stimulasi yang cukup ekstrim bagi kalangan perempuan untuk merekonstruksi missunderstanding terkait dengan diskriminasi dan kesetaraan gender; kultur seputar hierarki dan patriarki antara pihak male dan female.

Ragam persoalan kompleks di atas, tentu, merupakan keterkejutan budaya (shock of culture, teori Alvin tovler), sambil secara pelan ‘menyulat’ reputasi kaum feminin. Sebab, konon, laki-laki nge-tren dengan popularitas sebagai ‘penjajah dingin’ dan koloni yang_dengan pelan tapi pasti_ mengerdilkan_mengeksploitasi entitas perempuan dalam kancah kehidupan domestik, (atau) bahkan publik. Dalam pemahaman yang lebih jauh, perempuan dikesan sebagai obyek dari prinsip diskriminasi gender. Sehingga, mereka cenderung diposisikan sedemikian rendah_subordinatif . meski, hal kebenarannya dirasa absurd, dan masih dalam tahap analisis; memerlukan sumber pendukung sebagai data kecanggihan analisa.

Interpretasi Riil; Perempuan dan Gender

Pengaruh culture yang cenderung bersifat patrilinear, juga kenyataan pada tingkat ’harga’ perbandingan proporsional antara laki-laki dan permpuan, sampai saat ini masih menyisakan ‘mitologi miring’. Tak elak, kedudukan perempuan yang menjadi ‘budak’ laki-laki, hanya direka dari tafsir teologi praktis sebagai referensi dominan. Sehingga, secara tidak langsung, kiprah perempuan sebagai ‘individu otonom’ termarjinalkan sebegitu komplit.

Realitas pelik dan memilukan di atas, berhasil menampilkan tubuh perempuan sebagai obyek skunder laki-laki. Ini telihat dari galaknya industri kapitalis yang barang mungkin mengolah perempuan menjadi obyek menarik bagi industri produk dan periklanan. Bentuk ‘ideal’ perempuan dalam musim periklanan, memang menjadi simultan ‘laku’ penjualan. Misal konkrit, parade tubuh langsing, berkulit putih dan mulus, rambut lurus memikat, seperti juga wajah, dada, pinggul, dan hal eksotis lainnya. Dari ini, entitas perempuan tampak ”dijual-dagangkan”. Terbukti, perempuan tidak mampu mengendalikan diri, melainkan dikendalikan oleh kepntingan pasar.

Mitologi Miring; Ukuran Potensial

Dari berbagai catatan, Prof. Nasiruddin Umar dalam bukunya: Teologi Perempuan; Antara Mitos dan Kitab Suci. Ternyata, ada dua term yang mempengaruhi entitas perempuan dalam kancah publik. Pertama, pendekatan teologis. Di sini, tampak jauh dari prinsip keadilan gender. Setidaknya, penulis me-reka, hal ini bersumber dari kata qawwamuna (surat An-Nisa’) yang hanya ditafsir sebelah mata. Sehingga, tafsir historis, sosiologis, dan antropologis sama sekali tidak dikupas. Semestinya, qawwamuna di sini diletakkan dalam konteks hubungan domestik keluarga, bukan ranah publik.

Kedua,pendekatan mitologis. Pada kerangka ini, hakikat perempuan tidak lebih sekedar komoditas sosial. Sinyalir terahir ini yang muncul, seolah menjadi ‘jalan terjal berbatu’ bagi keberadaan perempuan dalam kancah publik. Terbukti, selain perempuan sebagai bahan pemuas laki-laki, banyak asumsi miring seputar realitas perempuan. Tulis saja, dikotomi peran perempuan; setinggi apapun pendidikan yang ia raih, tidak akan pernah lepas dari “dapur dan kasur”. Memang, sepintas memahami redaksi ini, perempuan tidak mempunyai ruang gerak bebas (right to decide) untuk menentukan obsesi sebagai manusia otonom.

Keluar dari konteks ini, perempuan dituntut ‘oposisi’ terhadap prespektif  nyeleneh di atas. Mitologi dan teologi yang dikoarkan tidak selamanya benar. Semestinya, perempuan mampu menumbuhkan antusiasme untuk me-linier-kan pemahaman seputar kekuasaan wilayah, dominasi, dan streotyping mereka. Sebagai motivasi taktis, penulis mencoba me re-copy argumen kritis Leoner Ketzer Sulvian (politikus perempuan), “What Man Can Do, Women Can Do Better

Penulis adalah penggerak KOMNAS sekaligus kepala perpustakaan SMA Annuqaya




Tidak ada komentar:

Posting Komentar