Jumat, 22 Februari 2013



Menyegarkan Kembali Pradigma Berpikir Tentang Perempuan
(Upaya Meluruskan Tafsir Mirimg)
Oleh: Asep Irama

Isu emansipasi dan legalisasi perempuan dalam kancah kehidupan sosial ahir-ahir ini semakin mencuat. Pelbagai gerakan emansipatoris sebagai kesadaran kritis permpuan,  hampir tak dapat dibendung. Sepertinya, ada stimulasi yang cukup ekstrim bagi kalangan perempuan untuk merekonstruksi missunderstanding terkait dengan diskriminasi dan kesetaraan gender; kultur seputar hierarki dan patriarki antara pihak male dan female.

Ragam persoalan kompleks di atas, tentu, merupakan keterkejutan budaya (shock of culture, teori Alvin tovler), sambil secara pelan ‘menyulat’ reputasi kaum feminin. Sebab, konon, laki-laki nge-tren dengan popularitas sebagai ‘penjajah dingin’ dan koloni yang_dengan pelan tapi pasti_ mengerdilkan_mengeksploitasi entitas perempuan dalam kancah kehidupan domestik, (atau) bahkan publik. Dalam pemahaman yang lebih jauh, perempuan dikesan sebagai obyek dari prinsip diskriminasi gender. Sehingga, mereka cenderung diposisikan sedemikian rendah_subordinatif . meski, hal kebenarannya dirasa absurd, dan masih dalam tahap analisis; memerlukan sumber pendukung sebagai data kecanggihan analisa.

Interpretasi Riil; Perempuan dan Gender

Pengaruh culture yang cenderung bersifat patrilinear, juga kenyataan pada tingkat ’harga’ perbandingan proporsional antara laki-laki dan permpuan, sampai saat ini masih menyisakan ‘mitologi miring’. Tak elak, kedudukan perempuan yang menjadi ‘budak’ laki-laki, hanya direka dari tafsir teologi praktis sebagai referensi dominan. Sehingga, secara tidak langsung, kiprah perempuan sebagai ‘individu otonom’ termarjinalkan sebegitu komplit.

Realitas pelik dan memilukan di atas, berhasil menampilkan tubuh perempuan sebagai obyek skunder laki-laki. Ini telihat dari galaknya industri kapitalis yang barang mungkin mengolah perempuan menjadi obyek menarik bagi industri produk dan periklanan. Bentuk ‘ideal’ perempuan dalam musim periklanan, memang menjadi simultan ‘laku’ penjualan. Misal konkrit, parade tubuh langsing, berkulit putih dan mulus, rambut lurus memikat, seperti juga wajah, dada, pinggul, dan hal eksotis lainnya. Dari ini, entitas perempuan tampak ”dijual-dagangkan”. Terbukti, perempuan tidak mampu mengendalikan diri, melainkan dikendalikan oleh kepntingan pasar.

Mitologi Miring; Ukuran Potensial

Dari berbagai catatan, Prof. Nasiruddin Umar dalam bukunya: Teologi Perempuan; Antara Mitos dan Kitab Suci. Ternyata, ada dua term yang mempengaruhi entitas perempuan dalam kancah publik. Pertama, pendekatan teologis. Di sini, tampak jauh dari prinsip keadilan gender. Setidaknya, penulis me-reka, hal ini bersumber dari kata qawwamuna (surat An-Nisa’) yang hanya ditafsir sebelah mata. Sehingga, tafsir historis, sosiologis, dan antropologis sama sekali tidak dikupas. Semestinya, qawwamuna di sini diletakkan dalam konteks hubungan domestik keluarga, bukan ranah publik.

Kedua,pendekatan mitologis. Pada kerangka ini, hakikat perempuan tidak lebih sekedar komoditas sosial. Sinyalir terahir ini yang muncul, seolah menjadi ‘jalan terjal berbatu’ bagi keberadaan perempuan dalam kancah publik. Terbukti, selain perempuan sebagai bahan pemuas laki-laki, banyak asumsi miring seputar realitas perempuan. Tulis saja, dikotomi peran perempuan; setinggi apapun pendidikan yang ia raih, tidak akan pernah lepas dari “dapur dan kasur”. Memang, sepintas memahami redaksi ini, perempuan tidak mempunyai ruang gerak bebas (right to decide) untuk menentukan obsesi sebagai manusia otonom.

Keluar dari konteks ini, perempuan dituntut ‘oposisi’ terhadap prespektif  nyeleneh di atas. Mitologi dan teologi yang dikoarkan tidak selamanya benar. Semestinya, perempuan mampu menumbuhkan antusiasme untuk me-linier-kan pemahaman seputar kekuasaan wilayah, dominasi, dan streotyping mereka. Sebagai motivasi taktis, penulis mencoba me re-copy argumen kritis Leoner Ketzer Sulvian (politikus perempuan), “What Man Can Do, Women Can Do Better

Penulis adalah penggerak KOMNAS sekaligus kepala perpustakaan SMA Annuqaya




Kamis, 21 Februari 2013


Pesantren Sebuah Cerminan Masyarakat
Oleh : Syukron Supyan *)
Islam mewajibkan kepada ummat Muslim untuk menuntut ilmu, karena dengan ilmu kita dapat membedakan antara yang baik dan mana yang bathil. Didalam sebuah hadist sudah di jelaskan bahwa mencari ilmu wajib bagi seorang muslim laki-laki maupun perempuan.
Dalam ranah ini akan lebih menarik jika mengkaji seputar pesantren. Pesantren berasal dari dua kata “pesan” dan “ngetren” dalam artian pesan harus di miliki santri harus ngetren (pesan yang baik-baik). Selain itu pula, pesantren merupakan sebuah wadahnya ilmu, yang lebih menitik beratkan kepada ilmu Agama. Didalam pesantren itu sendiri terdapat santri yang belajar Ilmu terlebih khusus menggeluti ilmu Agama.
 Santri yang berada di pesantren dengan tujuan yang baik. Dengan bahasa lain untuk mengubah karakter yang tidak baik dari yang sebelumnya. Tanpa kita sadari bersama bahwa santri sedang berproses didalam menjalani kehidupan masa depan. Karena pesantren itu adalah cerminan bagi santri untuk melihat kehidupan yang akan datang ketika terjun di masyarakat. Tatkala di pesantren santri menanam benih-benih yang baik pasti hasilnya akan baik dari pada sebelumnya dan sebaliknya jika menanam benih yang buruk pasti akan memetik hasil yang buruk.
Di pesantren sebagai lembaga yang punya basis dalam pembelajaran ilmu Agama tentu banyak dijumpai oleh para santri. Pesantren juga merupakan tempat strategis untuk menuntut ilmu yang bernuansa islamis. Misal seperti mengkaji kitab kuning, mengikuti sorogan Alqur’an dengan pokok ajaran tentang ilmu tauhid, fiqih dan tasawuf.
Hal yang menjadi keunggulan hidup dipesantren adalah belajar sambil mempraktekan. Dan dibimbing bagaimana cara shalat yang baik dan benar. Tak pelak jika kemudian pesantren itu nanti bisa mengisi tiap lini dari masyarakat. Toh walaupun seperti yang diungkapkan Abdurrahman Wahid bahwa pesantren adalah cerminan masyarakat yang komplementer. Akhirnya harapan terbesar penulis semoga para santri semangat dalam menuntut ilmu di pesantren supaya bisa dijadikan bekal dalam hidup bermasyarakat.(*)
*) adalah siswa MA 1 Annuqayah bermukim di blok C/03

Membangun Pendidikan Moral Ditengah Pesantren Modern
Oleh: Al  Farisi AF *)
            Pesantren dan pendidikan moral adalah satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan satu antara lain. Jika pesantren sudah terlepas dari sistem pendidikan moral akan berakibat tehadap merosotnya moralitas anak bangsa (santri) yang kian melemah. “ pendidikan tidak hanya mencerdaskan generasi muda dari segi kognitif dan psikomotorik, tetapi tidak kalah pentingnya membentuk kepribadian yang bermoral sesuai nilai-nilai relegius”. Begitu ungkapan Mohammad Takdir Ilahi dalam bukunya (baca: revitalisasi pendidikan berbasis moral).
            Tidak heran jika pesantren dijadikan pusat ilmu keagamaan yang didalamnya banyak mengandung pendidikan moral. Tak kalah modern pesantren juga banyak mengajarkan ilmu-ilmu umum yang bertujuan untuk menyeimbangkan antara ilmu yang berbasis keagamaan dan berbasis umum.
                 Di kalangan muda saat ini, pendidikan berbasis moral tidak lagi menjadi orientasi utama dalam dunia pendidikan. Persoalan ini muncul akibat tidak adanya perhatian lebih dari seorang pendidik yang lebih fokus terhadap pengembangan nalar kritis (critical deveploment) dari pada pengembangan spiritual (spritual deveploment). Sehingga menyebabkan kedangkalan didalam memahami ajaran agama secara mendalam. Jika ini terjadi, tindakan yang dilakukan seorang santri pasti akan menyimpang dari norma-norma agama yang menjadi panutan kita di dalam menjalani kehidupan.
            Sering kita jumpai tawuran antar pelajar yang menunjukkan dampak dari minimnya pendidikan moral yang mereka peroleh dari lingkungan ataupun dari seorang pendidik. Masih untung kita berada di lingkungan pesantren, dan diatur dengan undang-undang yang berpegang teguh terhadap ajaran Agama Islam. Sehingga, tanpa diberi pendidikan secara khusus oleh seorang pendidik atau orang lain kita dapat meneladani moral seorang kiai yang tanpa di sadari memeberikan pendidikan moral terhadap santri.
            Namun yang harus di permasalahkan,dulunya pesantren yang dikenal kental dengan ilmu keagamaan tidak lagi mencetak moral terhadap seorang santri. Kenapa demikian? Perkembangan alat elektronik dan komunikasi sangat berpengaruh terhadap merosotnya moralitas anak bangsa, khususnya santri. Dengan demikian, seorang santri tidak mampu membedakan dampak negatif -positifnya dan seorang tidak mampu mem filter dampak negatif dari kemajuan tersebut.
            Untuk itu, penulis memberikan solusi untuk menghadapi dunia pada era globalisasi ini. Pertama, didalam lembaga pendidikan tidak harus memiliki tenaga pendidik yang cerdas secara keilmuan, namun memiliki skill mendidik moral anak didik. Kedua, sebagai santri kita mampu menjaga nama baik pesantren yang memberikan pendidikan secara intelektual maupun moralitas.
            Berkembangmya alat elektronik dan komunikasi memang membuat kita bangga ataupun bahagia, karena kita dapat beraktivitas dengan begitu mudah dan cepat. Namun, jika kita tidak bisa menggunakannya dangan baik, kemajuan tersebut akan berdampak negatif. Sebagai seorang santri yang memiliki moral kita harus memanfaatkan kemajuan tersebut dengan baik, agar kita dapat menjadikan negara kita yang masih kurang baik menjadi negara yang excellent.
*)penulis adalah penikmat luka, aktivis KOMNAS(Komunitas Nyantai Sore ) sekaligus santri tulen  Lubangsa Selatan       

Mencari Pemimpin Ideal di Pesantren

Oleh Ainur Hafidz *)
Semua daerah organisasi ataupun negara sangat mengimpikan sesosok figur ideal pemimpin yang bisa mengayomi masyarakatnya seperti Rasulullah. Begitu pula di Pesantren memang sekarang ini memang sukar mencari pemimpin ideal.
Berbincang tentang pemimpin ideal, sepanjang pengetahuan penulis pemimpin ialah seorang yang bisa mengayomi masyarakat atau kaumnya dengan baik, sedangkan ideal menurut makna kamus adalah sempurna sesuai dengan cita-cita berati pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang sempurna sesuai dengan cita-cita masyarakat atau rakyatnya, pemimpin yang adil dan bisa mengayomi semua rakyatnya dengan baik, pemimpin yang tak semua bertindak dan tidak mengedepankan egonya.
Sekarang kita akan sedikit menelisik kepada eksistensi pesantren dimana pesantren yang kita kenal merupakan lembaga pendidikan yang berbasis agamis yaitu Islam. Santrinya sangat mengagum-ngagumkan Rasulullah dan meneladaninya. Namun, apakah pemimpin di pesantren juga meneladani kepemimipinan Rasulullah ? yang kita ketahui Rasulullah merupakan  figur yang ideal, tak pernah mengedepankan egonya. Justru lebih mengedepankan kepentingan rakyat dari pada kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Sebagai santri kita dapat melihat secara kasat mata kinerja-kinerja pemimpin kita di pesantren. Berlatar pikir atas realita yang ada, kita akan dapat menilai bahwa para pemimipin kita sekarang ini sangatlah berbeda jauh dengan masa kepemimpinan Nabi, dalam artian mereka tak dapat sedikitpun mengikuti Nabi dalam konteks kepemimipinannya . dan tentu sangatlah berbeda dengan pengertian pemimpin ideal yang telah penulis paparkan di atas.
Pertama, mereka kurang bijak dalam memilih menterinya, mereka cenderung nepotis dlam memilih menterinya. Walaupun kenyataannya kinerja mereka kurang baik, kita dapat berkaca kepada masa kepemimpinan Sayyidina Usman bin Affan, pada masa itu mayoritas menterinya terdiri dari keluarga Usman, dalam artian Sayyidina Usman lebih mengedepankan kepentingan keluarga dan yang terjadi kesenjangan sosial dari umatnya. Tak ayal, kita temui para menteri pesantren yang kinerjanya kurang memuaskan dan mungkin bisa dikatakan tak pantas jadi pemimpin.
Kedua,mereka lemah dalam undang-undang. Dengan kata lain, bukan lemah dalam menjalankan undang-undang tapi lemah dalam mematuhi undang-undang. Sanksi seakan tidak berlaku bagi mereka. Memang tak semua pemimpin begitu, ada yang baik ada pula yang buruk.
Memang sangat sulit kita dapati pemimpin yang ideal seperti Rasulullah. Namun sebagai pemimpin mereka seharusnya lebih tegas jadi pemimpin dalam mengatur bawahannya dan lebih jeli dalam memilih bawahan atau menterinya, mereka tak boleh senonoh dalam melakukan rekrutmen, mereka harus terlebih dahulu kinerja-kinerja mereka sebelum diangkat jadi pemimpin sebagaimana pada masa khalifah Sayyidina Ali, pada masa beliau menteri-menteri yang tidak mampu mengikuti irama kepemimpinannya mesti akan ditumbangkan dari jabatannya. Jadi, pemimpin saat ini baik dipesantren maupun non pesantren seharunya sedikit mencontoh kepemimpinan Sayyidina Ali.
Terakhir, memang kita sadari sangat sulit untuk mencari pemimpin ideal sebagaimana yang telah penulis paparkan secara gamblang diawal baik di pesantren maupun non pesantren.  

*) penulis adalah siswa kelas akhir MTs 1 Annuqayah, aktivis KOMNAS  



Mempertegas Spirit Pluralisme Di Indonesia ; Menuju Masyarakat Civil Society
(ikhtiar Merumuskan Secara Aplikatif Pemimpin Ideal Masa Depan Indonesia )
Oleh : Moh Shiddiq*
Peristiwa kekerasan dan keberingasan secara perlahan menguasai diberbagai sektor kehidupan. Boleh dikata “tiada hari tanpa kekerasan”. Bahkan yang kita temukan diabad ke 21 ini adalah suatu kondisi dimana kekerasan dan keberingasan menyelinap juga kedalam kebijaksanaan institusi kemasyarakatan, termasuk yang memakai label agama. Ironisnya, kekerasan yang acap kali mengatas namakan agama telah menampakkan cirinya sebagai masyarakat modern.­­­­­­­­[1][1]
            Mengorek lika-liku perjalanan Indonesia tentu senantiasa tak lepas dari tragedi berdarah yang memakai label agama. Masih segar dalam ingatan bangsa terkait luka sejarah sejak tahun 1998 dan terakhir tatkala meletusnya bom Berkekuatan besar di Legian, Bali, maka lengkaplah penderitaan bangsa karena keberingasan menjadi sebuah “tradisi” yang melekat dalam memecahkan masalah di sekitarnya. Sementara akhir-akhir ini belum lama kita mendengar kisah memilukan pembantaian Jamaah Ahmadiyah di  Cikeusik, Banten, dan konflik pembangunan Gereja GKI Bogor dipenghujung 2011. Yang lebih memprihatinkan pengusiran dan pembakaran pesantren Syiah di Sampang , Madura.
            Meletusnya peristiwa-peristiwa tragis yang demikian alot sejatinya lebih dikarenakan konstruksi masyarakat plural. Selama ini Negara Indonesia masih menaungi beragam etnik , budaya. Bahkan agama (multi-religius). Pada aras ini kemajemukan mengandung bencana besar jika tidak dikelola secara baik. Akibatnya, bila keadaan ini terus dibiarkan dapat mengancam stabilitas Negara dan berpotensi meretakkan solidaritas sosial. Bilamana ditarik pada jejak sejarah diabad pertengahan silam, saat dikumandangkannya perang suci yang melibatkan umat Islam dan Kristen juga di sebabkan berbedanya platform yang diusung. Hingga berakibat jatuhnya beribu-ribu korban jiwa. Bahkan mempertegang hubungan antar keduanya.
            Doktrin Islam dalam bentuk arti yang sebenarnya acap kali mengaitkan konsep keesaan tuhan pada prinsip kesatuan ummat. Alquran beberapa kali mendengungkan bahwa “manusia adalah umat yang tunggal “.[2][2] walaupun pada tataran praktisnya selalu ada kecenderungan untuk menghancurkan perumahan kemanusiannya. Dengan demikian, agama yang sakral menjadi profan dan tak lagi berbanding lurus dengan pesan luhur yang dibawanya.[3][3] Namun tampaknya budaya baku-hantam merupakan peristiwa yang tak terpisahkan dari historisitas manusia itu sendiri dan ini inheren dengan struktur penciptaan manusia.
            Kendati begitu, Alquran senantiasa menghimbau bahwa perbedaan suku, ras, dan bahasa bukanlah suatu alasan untuk melegitimasi pertikaian melainkan suatu kesempatan untuk saling mengenal (lita’arafu), jika melaksanakan kompetisi, pelaksanaan ini untuk saling menebarkan panji-panji kebajikan (faastabiqul khairat) bukan menegakkan kebajikan dalam wadah yang beragam melalui langkah ekstrim dan radikal.
Sekilas Mengintip Perjalanan Rasulullah
Ditengah kegelapan arab jahiliah yang dipenuhi masyarakat amoral, tak beradab, dan mengalami “kegersangan spiritual” muncullah Muhammad sang pembawa kesejukan bagi masyarakat Arab (minadz dzulumaati ilan nuuri ) melalui ajaran sucinya (Islam) yang mengusung misi rahmatal lil alamiiin. Dalam proses islamisasi yang dilancarkan Nabi (Rasulullah) tiada cara satu pun melalui pemaksaan ideologi (la ikraaha fi diin), apalagi menghunus pedang untuk orang kafir yang menolak ajarannya, dalam rangka menyebar risalah kenabiaannya semuanya memakai pendekatan persuasif yang mengarah pada pola sikap lemah-lembut. Itulah sebabnya Islam pada masa Nabi terus menerus ada pada jalan lurus sebagai agama penebar rahmat (bukan laknat) bagi seluruh alam.
Dalam catatan sejarah Islam tatkala Rasulullah belum menyampaikan risalah kenabiannya (pra-Islam) posisi perempuan berada pada kolong subordinatif, setidaknya hal ini dapat dihadapkan pada satu kenyataan dimana perempuan dipandang hina, remeh, rendah, dan disepelekan. Hakikat diri perempuan dianggap tidak memenuhi kemanusiaan yang hakiki. Pada ranah ini, perempuan untuk menyuarakan aspirasi dalam ruang lingkup kehidupannya seringkali dibungkam oleh kaum laki-laki. Mereka tidak berhak mendapatkan harta warisan sebab, dalam peraturan dan tradisi yang kokoh kala itu bahwa harta warisan hanya pantas didapatkan laki-laki. Alasan yang mengemuka dikarenakan laki-laki mampu“mengayunkan senjata perang”. Bahkan lebih mengenaskan keberadaan tamu-tamu istimewa lebih dimuliakan dari pada dirinya.[4][4]
Hal lain yang tak jauh berbeda terdapat firman Allah dalam Quran Surat An-Nahl 58-59 yang subtansi pembahasannya merupakan miniatur dari realitas apatisme feminisme masyarakat Arab Jahiliah; perempuan dikubur  secara hidup-hidup tanpa berperasaan karena asumsi kesulitan mencari maisyah (penghidupan) pula untuk menghindari kemiskinan dan kefakiran berlebihan.[5][5] Mencermati secara sekilas dari penjabaran historis ini, perempuan memang dalam titik memperihatinkan sebelum kedatangan Islam di semenanjung daratan Arab.
Akan tetapi wawasan asimetris-feminis yang bercokol dalam masyarakat Nabi Muhammad secara perlahan dapat diruntuhkan secara menyeluruh melalui upaya penyadaran unit terkecil keluarga (quu anfusikum wa ahliikum naaara). Tentunya hal ini tak luput dari sentuhan halus “tangan” beliau.[6][6] Pada sumbu ini dipahami secara menyeluruh bahwa Rasulullah menghendaki kedamaian secara lestari dalam masyarakat majemuk tanpa kekerasan dan kekasaran.
Sejatinya, terbentuknya masyarakat civil society di Madinah adalah di tandai dengan munculnya Piagam Madinah dimana sendi-sendi kebijakannya berpangkalkan pada asas persamaan, pemerataan hak, baik yang berbeda ras, suku, gender, maupun Agama. Alhasil, tidak ada prasangka rasial dan yang berjenis Agama. Tepat pada masa itu Islam merengkuh masa keemasannya karena tak lepas dari terbangunnya harkat martabat kemanusiaan. Maka selanjutnya merembes pada tergeraknya peradaban Islam itu sendiri. Berangkat dari kekagumannya pengajar study sejarah Islam , Marshall GS Hudgson dari University of Chicago memantapkan pendapat bahwa Madinah merupakan Negara modern pertama dalam sejarah peradaban dunia.[7][7]
Saatnya Memperkukuh Pluralisme
            Dalam konteks keindonesiaan pejuang pluralisme yang tetap layak diperhitungkan hingga detik ini adalah KH Abdurrahman Wahid walaupun jasad terkubur dengan tanah, Karena itu perlu adanya semangat rekonstruksi wawasan pluralisme ditengah kekisruhan umat beragama dalam rangka membangun kemanusiaan yang beradab sesuai dengan fakta sejarah di beberapa ratus tahun yang silam.
            Ada beberapa alasan yang mesti diakui akan pentingnya pluralisme agama di Indonesia terutama berkaitan langsung dengan didaulatnya Indonesia sebagai Negara yang bernaung di tubuh Pancasila. Nyaris tidak ada yang tahu dalam penggalan konseptual kebangsaan kita. Lebih-lebih dialog antara Islam dan kesadaran kebangsaan Indonesia bahwa sejak tahun 1919, tiga sepupu dengan intensif membicarakan tentang seperangkat ajaran Islam dengan nasionalisme Indonesia. Para pembincang ini adalah H.O.S. Tjokroaminoto, KH Hasjim Asy’ari, dan KH Wahab Chasbullah. Belakangan menantu H.O.S Tjokroaminoto yang berusia 18 tahun yakni Soekarno turut terlibat aktif di setiap pertemuan mingguan yang berlangsung sampai bertahun-tahun. Kesadaran kebangsaan inilah yang kemudian diwarisi kader-kader berikutnya seperti Abdul Wahid Hasjim (putra tokoh pendiri NU) KH. A Kahar Muzakkir dari Yogyakarta (tokoh Muhammadiyah), dan H. Ahmad Djoyo sugito (Tokoh Ahmadiyah).[8][8]
            Berbicara tentang sebab, bahwa latar perumusan serta pengkorelasian seperangkat puzzle Islam dengan Negara, (walaupun menjadi Negara republik, bukan Islam) tak lain disebabkan oleh prediksi kekalutan bangsa. Sebab,dalam catatan historis menampakkan akan pertikaian dan pembantaian darah kemanusiaan. Ini, tentu merujuk pada perjalanan sejarah Wahabi yang memasukkan kepentingan politik ke dalam Agama, hingga pada gilirannya menumpahkan beribu-ribu korban jiwa ; ambil missal, tragedi berdarah di Karbala, Jamaah Haji di Makkah. Namun begitu, Indonesia turut andil  dalam upaya mendamaikan pada Komite Hijaz di Makkah; sebuah perembukan perdamaian keprihatinan Indonesia atas pembantaian umat Islam oleh Wahabi. Hingga akhirnya umat muslim dunia aman dalam melaksanakan ritus keagamaan di Makkah.
Tindakan mulia leluhur bangsa itu, dalam rangka menuju kedamaian sejati seperti sakralitas seperangkat ajaran Rasul. Selain itu, pada prinsipnya tidak ada _baik secara verbal  maupun tidak_akan bangunan Negara Islam masa Nabi. Hal ini penulis sandarkan pada tesis Rasyid Ridha, seorang pembaharu modern bahwa, Negara madinah masa Nabi merupakan proses institusionalitas dalam upaya menuju Negara demokratis.
Dengan begitu, berarti Indonesia memegang teguh warisan leluhur bangsa. Terlebih lagi juga selalu mempertahankan ajaran moral Rasul di ruang gerak parlementer dalam rangka merangkai keabadian yang sejahtera ditengah panasnya pertikaian alot umat beragama, Karena berbagai peristiwa yang tersaji saat ini memungkinkan lebih kompleks permasalahannya di masa mendatang. Tanpa dipertegas lagi Indonesia tak pantas bernaung di keteduhan pancasila yang integral dengan corak kebangsaan yang majemuk.
Menyongsong periode pemilihan calon presiden baru 2014 segenap elemen bangsa semestinya selektif menyiasati kesempatan yang tinggal “dua jengkal” tahun lagi ini. Setidaknya dua belas varian bentuk kepemimpinan harus terpenuhi secara optimal.
§  Memiliki Jiwa Leadership
Pemaknaan secara harfiah dari kata leadership adalah mempunyai daya tamping yang tinggi dalam mengarahkan masyarakat pada arah kesepakatan bersama yang maslahah bil ummah. Ini tidak menutup kemungkinan bagi kiai untuk berkecimpung dalm dunia kepemimpinan (misalkan seperti Gus Dur) yang secara geneologis kharismatik.jika tidak, maka bisa memungkinkan orang-orang yang dekat dengan kiai__mendapatkan dukungan (semisal Mahfudz MD yang periode Gus Dur menjabat sebagai Menteri Pertahanan) dari berbagai pihak.
Pada waktu bersamaan berupaya menanamkan kesadaran kebangsaan Negara (NKRI), menjunjung asas demokratisasi. Secara sederhana mampu menyinkronkan kepentingan pribadi dengan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Lebih mendesak lagi pemimpin yang mengedepankan kewajiban dan haknya dengan masyarakat ditengah hedonisme kaum elit.
§ Pengetahuan Yang Luas.
Terutama menyangkut ilmu di bidang yang sesuai dengan tugasnya, setidak-tidaknya berkesesuaian pendidikan dengan jabatan yang dipangkunya. Pengalaman dan keberanian juga mutlak dibutuhkan sebagai wahana efektif membumi hanguskan bentuk tindak elit yang tidak seirama dengan cita-cita luhur bangsa (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme).
§      Mengalami penempaan mental yang masak, karena apapun alasannya pengaruh tekanan mental memberikan efek luar biasa bagi jiwa kepemimpinan seseorang. Sejarah mencatat bahwa kepemimipinan Rasulullah , berlangsung bukan tanpa hambatan. Kekerasan mental tidak hanya beliau rasakan, melainkan kekerasan fisik, dihina, dicemooh, dan disakiti.[9][9]
§     Kemampuan analisis masalah.
§     Daya ingat yang kuat.
§      Kemahiran mengatur integrasi berbagai perpecahan, yakni mampu mempersatukan beragam spesialisasi menjadi kesatuan komando (Unity Of Command) yang dapat diarahkan pada pencapaian tujuan  bersama.
§     Kecakapan komunikatif, ramah terhadap semua “jenis kelamin”sosial, tak hanya menjunjung orang atas kan tetapi juga mampu mengayomi masyrakat akar rumput (Grass root)
§     Berkemauan mendengar saran dan koreksi dari orang lain.
§     Berpikir objektif serta rasional; kemudian peka terhadap lingkungan sekitar.
§     Bertindak tegas yang bernaluri memutuskan; apa yang mendesak dan prioritas , apa relevansinya, serta kapan harus bertindak.
§      Bersikap konsisten, berani melawan resiko dalam upaya mencapai tujuan bersama.
§     Rasa ingin tau besar dalam spesialisasi kenegaraan.
Dengan pemaparan cukup komprehensif diatas bahwa terdapat korelasi erat sejarah masa terdahulu (Nabi) berikut serta sejarah masa depan Indonesia. Tentunya, implisit makna spirit pluralisme Nabi Muhammad yang tertuang dalam norma-norma Pancasila. Dengan tetap berpegang teguh pada hukum Pancasila bukanlah suatu hal mustahil bagi Indonesia untuk merobohkan identitas bobrok bangsa dalam berbagai sisi, tak terkecuali di kursi parlementer maupun dalam biduk keberagamaan. Alhasil, gelar masyarakat civil society versi Indonesia patut disematkan.(*)


*penulis adalah siswa MA 1Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura.









[1][1] Hal ini tercermin akan maraknya nasionalisme etnik yang memicu perang local umat beragama. Baca Syafi’I Maarif, “Manusia Dan Kemanusiaan Dalam perspektif Agama” dalam Said Tuhuleley. Dkk (editor), Masa Depan Kemanusiaan , , (Yogyakarta : Jendela, 2003). Hal.2.
[2][2] QS Al Baqarah : 213, juga QS Yunus: 19
[3][3] Said Tuhuleley. Dkk (editor), Masa Depan Kemanusiaan , Syafi’I Maarif, “Manusia Dan Kemanusiaan Dalam perspektif Agama”, (Yogyakarta : Jendela, 2003). Halaman 02.

[4][4] Telisik ulang dalam, Mahmud Mahdi Al-Istambuli dkk, “Wanita-wanita Shalihah dalam Cahaya Kenabian”, (Yogyakarta : Mitara Pustaka, Juni 2002), halaman. 10-11.
6 Cek lagi di dalam, Mahmud Mahdi Al-Istambuli dkk . ibid…….. hal 14-15
[6][6] Proses pembumi hangusan segala bentuk prasangka negative terhadap perempuan dirajut dalam bentuk ikatan suci beliau dengan Siti Khadijah. Mahmud Mahdi Al Istambuli, dkk “Wanita-Wanita Shalihah Dalam Cahaya Nabi” . ibid hal 18-19
[7][7] Telusuri kembali dalam Marshall GS Hudgson, The Venture Of Islam, (Jakarta : Paramadina, 2002)hal 99.
[8][8] Cek lagi KH Abdurrahman Wahid (ed,) ilusi Negara Islam Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Di Indsonesia.KH. Abdurrahman Wahid “Musuh Dalam Selimut (Jakarta : The Wahid Institute, 2009)hal 15.
[9][9] Telisik ulang, Nourouzzaman Shiddiqi, “Jeram-Jeram Peradaban Muslim” cetakan 1(Yogyakarta : pustaka Pelajar, 1996 ). Hal 101.