Senin, 08 April 2013

amalan


Amalan Pengasihan ini berasal dari Al-Qur’an yakni dari Surat Yusuf ayat 31 dimana diceritakan para wanita sampai mengiris jari mereka sendiri dengan pisau melihat ketampanan nabi Yusuf AS.

Kalau kita sering didawamkan insyaallah akan memilki aura pengasihan yanhg dahsyat, mudah dalam menaklukan lawan jenis, disukai dalam pergaulan, perdagangan dll.

Adapun Amalannya sebagai berikut :

-Syahadat 3X
-Astaghfirullaahal ‘azhiim min kulli dzanbin wa atubu ilaih – 3X
-Sholawat 3X
-Subhanallah wal hamdulillaah walailaaha illallah wallaahu akbar laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adziim 3X

Kemudian kirim surat al fateha kepada:

1. ilaa hadratin nabi muhammad sholallaahu ‘alaihi wassalam
2. ilaa hadratin Malaikat Jibrail, wa Mikail, wa Isroil wa Izrail
3. ilaa hadratin Abu Bakrin, wa Umar , wa Ustman , wa Ali radiyallahu anhum
4. ilaa hadratis Syaikh Abdul Qodir Jaelani
5. orang yg dituju ( fulanah binti fulanah )…

Amalannya :

Bismillahirrohmanirrohiim.
Falamma roainahuu akbarnahuu wa qoth-tho’na aidiyahnuna wa qulna haasya lil-lahii maa haadzaa basyaroo,in haadzaa illa malakun kariim.

Dibaca setelah sholat hajat minimal 313X dan setelah sholat subuh 100X selama 7 hari.
Setelah 7 hari setelah sholat 5 waktu dibaca 7X. Setelah membaca tiupkan ke 2 telapak tangan dan sapukan ke wajah.
Dan kalau di gunakan untuk pengasihan umum setelah mengamalkan mohon pada Allah agar dikasihani orang yang melihat. (Ilmu Warisan Leluhur)

Jumat, 22 Februari 2013



Menyegarkan Kembali Pradigma Berpikir Tentang Perempuan
(Upaya Meluruskan Tafsir Mirimg)
Oleh: Asep Irama

Isu emansipasi dan legalisasi perempuan dalam kancah kehidupan sosial ahir-ahir ini semakin mencuat. Pelbagai gerakan emansipatoris sebagai kesadaran kritis permpuan,  hampir tak dapat dibendung. Sepertinya, ada stimulasi yang cukup ekstrim bagi kalangan perempuan untuk merekonstruksi missunderstanding terkait dengan diskriminasi dan kesetaraan gender; kultur seputar hierarki dan patriarki antara pihak male dan female.

Ragam persoalan kompleks di atas, tentu, merupakan keterkejutan budaya (shock of culture, teori Alvin tovler), sambil secara pelan ‘menyulat’ reputasi kaum feminin. Sebab, konon, laki-laki nge-tren dengan popularitas sebagai ‘penjajah dingin’ dan koloni yang_dengan pelan tapi pasti_ mengerdilkan_mengeksploitasi entitas perempuan dalam kancah kehidupan domestik, (atau) bahkan publik. Dalam pemahaman yang lebih jauh, perempuan dikesan sebagai obyek dari prinsip diskriminasi gender. Sehingga, mereka cenderung diposisikan sedemikian rendah_subordinatif . meski, hal kebenarannya dirasa absurd, dan masih dalam tahap analisis; memerlukan sumber pendukung sebagai data kecanggihan analisa.

Interpretasi Riil; Perempuan dan Gender

Pengaruh culture yang cenderung bersifat patrilinear, juga kenyataan pada tingkat ’harga’ perbandingan proporsional antara laki-laki dan permpuan, sampai saat ini masih menyisakan ‘mitologi miring’. Tak elak, kedudukan perempuan yang menjadi ‘budak’ laki-laki, hanya direka dari tafsir teologi praktis sebagai referensi dominan. Sehingga, secara tidak langsung, kiprah perempuan sebagai ‘individu otonom’ termarjinalkan sebegitu komplit.

Realitas pelik dan memilukan di atas, berhasil menampilkan tubuh perempuan sebagai obyek skunder laki-laki. Ini telihat dari galaknya industri kapitalis yang barang mungkin mengolah perempuan menjadi obyek menarik bagi industri produk dan periklanan. Bentuk ‘ideal’ perempuan dalam musim periklanan, memang menjadi simultan ‘laku’ penjualan. Misal konkrit, parade tubuh langsing, berkulit putih dan mulus, rambut lurus memikat, seperti juga wajah, dada, pinggul, dan hal eksotis lainnya. Dari ini, entitas perempuan tampak ”dijual-dagangkan”. Terbukti, perempuan tidak mampu mengendalikan diri, melainkan dikendalikan oleh kepntingan pasar.

Mitologi Miring; Ukuran Potensial

Dari berbagai catatan, Prof. Nasiruddin Umar dalam bukunya: Teologi Perempuan; Antara Mitos dan Kitab Suci. Ternyata, ada dua term yang mempengaruhi entitas perempuan dalam kancah publik. Pertama, pendekatan teologis. Di sini, tampak jauh dari prinsip keadilan gender. Setidaknya, penulis me-reka, hal ini bersumber dari kata qawwamuna (surat An-Nisa’) yang hanya ditafsir sebelah mata. Sehingga, tafsir historis, sosiologis, dan antropologis sama sekali tidak dikupas. Semestinya, qawwamuna di sini diletakkan dalam konteks hubungan domestik keluarga, bukan ranah publik.

Kedua,pendekatan mitologis. Pada kerangka ini, hakikat perempuan tidak lebih sekedar komoditas sosial. Sinyalir terahir ini yang muncul, seolah menjadi ‘jalan terjal berbatu’ bagi keberadaan perempuan dalam kancah publik. Terbukti, selain perempuan sebagai bahan pemuas laki-laki, banyak asumsi miring seputar realitas perempuan. Tulis saja, dikotomi peran perempuan; setinggi apapun pendidikan yang ia raih, tidak akan pernah lepas dari “dapur dan kasur”. Memang, sepintas memahami redaksi ini, perempuan tidak mempunyai ruang gerak bebas (right to decide) untuk menentukan obsesi sebagai manusia otonom.

Keluar dari konteks ini, perempuan dituntut ‘oposisi’ terhadap prespektif  nyeleneh di atas. Mitologi dan teologi yang dikoarkan tidak selamanya benar. Semestinya, perempuan mampu menumbuhkan antusiasme untuk me-linier-kan pemahaman seputar kekuasaan wilayah, dominasi, dan streotyping mereka. Sebagai motivasi taktis, penulis mencoba me re-copy argumen kritis Leoner Ketzer Sulvian (politikus perempuan), “What Man Can Do, Women Can Do Better

Penulis adalah penggerak KOMNAS sekaligus kepala perpustakaan SMA Annuqaya




Kamis, 21 Februari 2013


Pesantren Sebuah Cerminan Masyarakat
Oleh : Syukron Supyan *)
Islam mewajibkan kepada ummat Muslim untuk menuntut ilmu, karena dengan ilmu kita dapat membedakan antara yang baik dan mana yang bathil. Didalam sebuah hadist sudah di jelaskan bahwa mencari ilmu wajib bagi seorang muslim laki-laki maupun perempuan.
Dalam ranah ini akan lebih menarik jika mengkaji seputar pesantren. Pesantren berasal dari dua kata “pesan” dan “ngetren” dalam artian pesan harus di miliki santri harus ngetren (pesan yang baik-baik). Selain itu pula, pesantren merupakan sebuah wadahnya ilmu, yang lebih menitik beratkan kepada ilmu Agama. Didalam pesantren itu sendiri terdapat santri yang belajar Ilmu terlebih khusus menggeluti ilmu Agama.
 Santri yang berada di pesantren dengan tujuan yang baik. Dengan bahasa lain untuk mengubah karakter yang tidak baik dari yang sebelumnya. Tanpa kita sadari bersama bahwa santri sedang berproses didalam menjalani kehidupan masa depan. Karena pesantren itu adalah cerminan bagi santri untuk melihat kehidupan yang akan datang ketika terjun di masyarakat. Tatkala di pesantren santri menanam benih-benih yang baik pasti hasilnya akan baik dari pada sebelumnya dan sebaliknya jika menanam benih yang buruk pasti akan memetik hasil yang buruk.
Di pesantren sebagai lembaga yang punya basis dalam pembelajaran ilmu Agama tentu banyak dijumpai oleh para santri. Pesantren juga merupakan tempat strategis untuk menuntut ilmu yang bernuansa islamis. Misal seperti mengkaji kitab kuning, mengikuti sorogan Alqur’an dengan pokok ajaran tentang ilmu tauhid, fiqih dan tasawuf.
Hal yang menjadi keunggulan hidup dipesantren adalah belajar sambil mempraktekan. Dan dibimbing bagaimana cara shalat yang baik dan benar. Tak pelak jika kemudian pesantren itu nanti bisa mengisi tiap lini dari masyarakat. Toh walaupun seperti yang diungkapkan Abdurrahman Wahid bahwa pesantren adalah cerminan masyarakat yang komplementer. Akhirnya harapan terbesar penulis semoga para santri semangat dalam menuntut ilmu di pesantren supaya bisa dijadikan bekal dalam hidup bermasyarakat.(*)
*) adalah siswa MA 1 Annuqayah bermukim di blok C/03

Membangun Pendidikan Moral Ditengah Pesantren Modern
Oleh: Al  Farisi AF *)
            Pesantren dan pendidikan moral adalah satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan satu antara lain. Jika pesantren sudah terlepas dari sistem pendidikan moral akan berakibat tehadap merosotnya moralitas anak bangsa (santri) yang kian melemah. “ pendidikan tidak hanya mencerdaskan generasi muda dari segi kognitif dan psikomotorik, tetapi tidak kalah pentingnya membentuk kepribadian yang bermoral sesuai nilai-nilai relegius”. Begitu ungkapan Mohammad Takdir Ilahi dalam bukunya (baca: revitalisasi pendidikan berbasis moral).
            Tidak heran jika pesantren dijadikan pusat ilmu keagamaan yang didalamnya banyak mengandung pendidikan moral. Tak kalah modern pesantren juga banyak mengajarkan ilmu-ilmu umum yang bertujuan untuk menyeimbangkan antara ilmu yang berbasis keagamaan dan berbasis umum.
                 Di kalangan muda saat ini, pendidikan berbasis moral tidak lagi menjadi orientasi utama dalam dunia pendidikan. Persoalan ini muncul akibat tidak adanya perhatian lebih dari seorang pendidik yang lebih fokus terhadap pengembangan nalar kritis (critical deveploment) dari pada pengembangan spiritual (spritual deveploment). Sehingga menyebabkan kedangkalan didalam memahami ajaran agama secara mendalam. Jika ini terjadi, tindakan yang dilakukan seorang santri pasti akan menyimpang dari norma-norma agama yang menjadi panutan kita di dalam menjalani kehidupan.
            Sering kita jumpai tawuran antar pelajar yang menunjukkan dampak dari minimnya pendidikan moral yang mereka peroleh dari lingkungan ataupun dari seorang pendidik. Masih untung kita berada di lingkungan pesantren, dan diatur dengan undang-undang yang berpegang teguh terhadap ajaran Agama Islam. Sehingga, tanpa diberi pendidikan secara khusus oleh seorang pendidik atau orang lain kita dapat meneladani moral seorang kiai yang tanpa di sadari memeberikan pendidikan moral terhadap santri.
            Namun yang harus di permasalahkan,dulunya pesantren yang dikenal kental dengan ilmu keagamaan tidak lagi mencetak moral terhadap seorang santri. Kenapa demikian? Perkembangan alat elektronik dan komunikasi sangat berpengaruh terhadap merosotnya moralitas anak bangsa, khususnya santri. Dengan demikian, seorang santri tidak mampu membedakan dampak negatif -positifnya dan seorang tidak mampu mem filter dampak negatif dari kemajuan tersebut.
            Untuk itu, penulis memberikan solusi untuk menghadapi dunia pada era globalisasi ini. Pertama, didalam lembaga pendidikan tidak harus memiliki tenaga pendidik yang cerdas secara keilmuan, namun memiliki skill mendidik moral anak didik. Kedua, sebagai santri kita mampu menjaga nama baik pesantren yang memberikan pendidikan secara intelektual maupun moralitas.
            Berkembangmya alat elektronik dan komunikasi memang membuat kita bangga ataupun bahagia, karena kita dapat beraktivitas dengan begitu mudah dan cepat. Namun, jika kita tidak bisa menggunakannya dangan baik, kemajuan tersebut akan berdampak negatif. Sebagai seorang santri yang memiliki moral kita harus memanfaatkan kemajuan tersebut dengan baik, agar kita dapat menjadikan negara kita yang masih kurang baik menjadi negara yang excellent.
*)penulis adalah penikmat luka, aktivis KOMNAS(Komunitas Nyantai Sore ) sekaligus santri tulen  Lubangsa Selatan       

Mencari Pemimpin Ideal di Pesantren

Oleh Ainur Hafidz *)
Semua daerah organisasi ataupun negara sangat mengimpikan sesosok figur ideal pemimpin yang bisa mengayomi masyarakatnya seperti Rasulullah. Begitu pula di Pesantren memang sekarang ini memang sukar mencari pemimpin ideal.
Berbincang tentang pemimpin ideal, sepanjang pengetahuan penulis pemimpin ialah seorang yang bisa mengayomi masyarakat atau kaumnya dengan baik, sedangkan ideal menurut makna kamus adalah sempurna sesuai dengan cita-cita berati pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang sempurna sesuai dengan cita-cita masyarakat atau rakyatnya, pemimpin yang adil dan bisa mengayomi semua rakyatnya dengan baik, pemimpin yang tak semua bertindak dan tidak mengedepankan egonya.
Sekarang kita akan sedikit menelisik kepada eksistensi pesantren dimana pesantren yang kita kenal merupakan lembaga pendidikan yang berbasis agamis yaitu Islam. Santrinya sangat mengagum-ngagumkan Rasulullah dan meneladaninya. Namun, apakah pemimpin di pesantren juga meneladani kepemimipinan Rasulullah ? yang kita ketahui Rasulullah merupakan  figur yang ideal, tak pernah mengedepankan egonya. Justru lebih mengedepankan kepentingan rakyat dari pada kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Sebagai santri kita dapat melihat secara kasat mata kinerja-kinerja pemimpin kita di pesantren. Berlatar pikir atas realita yang ada, kita akan dapat menilai bahwa para pemimipin kita sekarang ini sangatlah berbeda jauh dengan masa kepemimpinan Nabi, dalam artian mereka tak dapat sedikitpun mengikuti Nabi dalam konteks kepemimipinannya . dan tentu sangatlah berbeda dengan pengertian pemimpin ideal yang telah penulis paparkan di atas.
Pertama, mereka kurang bijak dalam memilih menterinya, mereka cenderung nepotis dlam memilih menterinya. Walaupun kenyataannya kinerja mereka kurang baik, kita dapat berkaca kepada masa kepemimpinan Sayyidina Usman bin Affan, pada masa itu mayoritas menterinya terdiri dari keluarga Usman, dalam artian Sayyidina Usman lebih mengedepankan kepentingan keluarga dan yang terjadi kesenjangan sosial dari umatnya. Tak ayal, kita temui para menteri pesantren yang kinerjanya kurang memuaskan dan mungkin bisa dikatakan tak pantas jadi pemimpin.
Kedua,mereka lemah dalam undang-undang. Dengan kata lain, bukan lemah dalam menjalankan undang-undang tapi lemah dalam mematuhi undang-undang. Sanksi seakan tidak berlaku bagi mereka. Memang tak semua pemimpin begitu, ada yang baik ada pula yang buruk.
Memang sangat sulit kita dapati pemimpin yang ideal seperti Rasulullah. Namun sebagai pemimpin mereka seharusnya lebih tegas jadi pemimpin dalam mengatur bawahannya dan lebih jeli dalam memilih bawahan atau menterinya, mereka tak boleh senonoh dalam melakukan rekrutmen, mereka harus terlebih dahulu kinerja-kinerja mereka sebelum diangkat jadi pemimpin sebagaimana pada masa khalifah Sayyidina Ali, pada masa beliau menteri-menteri yang tidak mampu mengikuti irama kepemimpinannya mesti akan ditumbangkan dari jabatannya. Jadi, pemimpin saat ini baik dipesantren maupun non pesantren seharunya sedikit mencontoh kepemimpinan Sayyidina Ali.
Terakhir, memang kita sadari sangat sulit untuk mencari pemimpin ideal sebagaimana yang telah penulis paparkan secara gamblang diawal baik di pesantren maupun non pesantren.  

*) penulis adalah siswa kelas akhir MTs 1 Annuqayah, aktivis KOMNAS